Skip to main content

Cinta itu Seperti Kupu-kupu yang Terbang Tinggi

Cinta itu seperti kupu kupu yang terbang tinggi adalah sebuah cerpen berjudul cinta itu seperti kupu kupu yang terbang tinggi. yuk kita simak saja berikut ini cinta itu seperti kupu kupu yang terbang tinggi.

Dua-duanya selepas SMA langsung kerja, walau inginnya kuliah dulu supaya pinter. Tapi  bagaimana, bagaimana dan ada beberapa bagaimana. Orangtua bukan segala punya, adik ada beberapa, rupiah selalu jadi masalah. Habis masa hura-hura, selamat tinggal pubertas. Bye-bye cinta pertama.

Namun dari kejauhan awan mimpi lumayan menghibur, matahari memberi hangat semangat. Musik cadas dari radio ikut membantu melempar masa lalu, membujuk kaki-kaki kuat niat melangkah ke kota besar sebelah sana.

Dalam kepala mereka berkata: masa muda tidak boleh sia-sia, harapan masih ada, meski tak nampak di peta rencana. Butuh kaca pembesar agar jelas kelihatan: “Oh itu dia!”.

Lalu dua-duanya nekat, pamit mau menggapai masa depan. Modal restu orangtua dan lambaian tangan adik-adik, berangkat juga di pagi buta.

“Mudah-mudahan sukses serupa tetangga,” selantun doa terucap tak bersuara dari Bapak.

“Jangan lupa berdoa,” bisik Ibu sambil menyeka air mata.

Di stasiun kereta, kedua tokoh kita kali pertama berjumpa. Saling menyapa dengan senyuman dan kedip mata. Tentu yang laki-laki duluan cari gara-gara, pura-pura tanya ini-itu, padahal sudah tahu mau ke mana.

Kemudian berkenalan bertukar nama, saling tanya-tanya apa saja, beriringan masuk gerbong, duduk bersebelahan. Dan sepanjang perjalanan bertukar kisah cinta, yang perempuan mendadak cerewet, cerita segala-gala. Seru juga.

Satu jam roda kereta berhenti kelelahan, perjalanan sampai tujuan. O, kota cita-cita bersinar glamor, berisik ingar-bingar seolah dipenuhi pengeras suara. Beberapa saat dua-duanya celingukan di tengah keramaian.

Nah, kata mereka dalam batin, paling gampang kunjungi dulu saudara, kebetulan sudah di sana tiga tahun, bisa numpang mandi, makan, tidur, buat sementara. Untung alamatnya dicatat tadi malam.

Tokoh kita, si pemuda dan si gadis, berpisah. “Mudah-mudahan sukses ya…” Tangan saling berjabat. Si pemuda ngeloyor cepat-cepat, perutnya teriak-teriak minta diisi. Sementara si gadis jalan kaki sambil membaca sebuah alamat.

Setelah jelas, dia loncat naik angkutan umum, lalu bisik-bisik ke pak sopir. “Ya, kita lewat jalan sana. Tenang saja,” ujar pak sopir seraya menyemburkan asap rok0k.

Sepuluh menit sudah, tiba di alamat yang dimaksud. Ketok pintu malu-malu, sebab baru kali ini singgah. Keluar perempuan setengah baya pakai daster, rambutnya masih acak-acakan, mungkin belum mandi. Segera mengenali wajah keponakannya. Senyum gemas dia. “Tumben ini anak berkunjung kemari,” katanya dalam hati.

“Halo Bude. Boleh nginep? Soalnya mau cari kerja di sini.”

“Lho kok ndak bilang, ndak telpon dulu?… Kasihan. Ayo masuk, mumpung kamar mbak Dina kosong. Dia sudah jadi pramugari,” kata Bude sambil masih menggenggam ulekan, tadi sedang membuat sambal.

Si gadis, tokoh kita, langsung beli koran pagi. Membolak-balik halaman lowongan kerja, ditandai sekira ada yang dianggap bisa, digunting apabila ada perusahaan mencari tenaga kerja. Lamaran dan CV diketik di warnet sebelah, beberapa harus kirim via email. Foto diri pakai HP cukup.

Tapi bingung mau nulis pengalaman kerja. Wong belum pernah. Paling-paling bantu-bantu Ibu masak dan nyuci. Pengalaman cari uang? Ya cuma dagang boneka di SMA. Boneka yang dibuat sendiri. Tapi laku juga, sih. Maka ditulisnya bagaimana cara membuat dan menjual boneka, berharap nanti yang baca salut.

Sementara, si pemuda, tokoh kita yang satu lagi terpaksa tidur di Masjid. Tidak punya saudara di kota besar. Hanya sebab niatnya sudah bulat, hal-hal yang tidak enak buat dia tidak ada masalah.

Kelelahan dia rebah meringkuk di lantai Masjid yang dingin, seraya komat-kamit baca doa. Mengganggap dirinya terzholimi ekonomi, yakin lah doanya dikabulkan.

Sebulan kemudian, dua-duanya happy. Ternyata sudah diterima bekerja, meski masih masa percobaan. Gaji ala kadarnya, hanya cukup buat makan sama bayar kos sederhana. Kota metropolis ramai penduduk dan mal, kini buat mereka seperti surga.

Sepulang kerja jalan-jalan, sumringah melihat-lihat toko, cuci mata. Meski makan masih irit-irit yang penting kenyang biar tidurnya lelap. Belum punya apa-apa, kos isinya kasur sama baju seadanya.

Namun diam-diam keduanya saling ingin tahu nasib temannya satu kereta waktu berangkat. Bagaimana dia, bagaimana, dan ada beberapa bagiamana.

Hari minggu tiba, si gadis ceritanya refreshing, jalan-jalan ke taman kota sekedar menghalau rutinitas sambil senam kecil-kecilan. Maklum badannya pegal semua, berhari-hari duduk formil di kantor.

Otot-ototnya kaku. Tuk-wak-ga-pat… Tuk-wak-ga-pat…pelemasan dimulai. Enak juga, menurut dia. Leher diputar kiri-kanan, kiri-kanan, seraya berkacak pinggang. Hitungan kesepuluh, “Lha itu dia…!” matanya melihat si pemuda -sama dengan dia, lagi olahraga. Si pemuda kaget, seperti mimpi ketemu teman seperjuangan.“Hore, ketemu lagi deh!”

“Hai apa kabar. Sudah dapat kerja?”

“Alhamdulillah. Kamu gimana?”

“Sama dong. Aku gawe di konveksi kecil-kecilan. Kamunya?”

“Aku asisten pembukuan di percetakan. Tapi rencananya sih, mau coba daftar pramugari.”

“Wah hebat, aku sih yakin kamu bakalan diterima. Kamu kan pinter, manis lagi.”

Si gadis tersenyum malu dipuji, baru kali ini ada yang bilang begitu. Sebegitu tulus, jujur, apa adanya. Tidak sadar jarinya digigit-gigit sendiri saking terharunya. Lantas keduanya berhenti senam pagi, malah ngobrol sambil makan bubur ayam.

Begitulah, kedua tokoh kita semakin hari semakin akrab. Apalagi setelah bisa beli BB, sibuk BBM-an terus. Kadang malem minggu janjian, soalnya (diam-diam) si pemuda ingin memacari gadis.

Namun setelah dia pikir-pikir, urung niatnya. Nggak PeDe. Bukan sebab merasa minder, melainkan karena dia banyak logika. Hitung-hitungan di atas kertas belum masuk akal. Takut juga melanggar janji kepada orangtua, dulu kan niatnya kerja. Bukan pacaran. Ditunda dulu deh…, begitu keputusannya.

Hari demi hari menggulung kalender, si gadis lolos masuk pendidikan pramugari. Tes terakhir lulus memuaskan, bulan depan sudah harus terbang. Maka kos-nya pindah dekat Bandara, bertolak belakang dengan letak koordinat kos pemuda. Hubungan mereka merenggang.

Tambahan pula si gadis jadwal terbangnya langsung padat, seringkali menetap beberapa hari di luar pulau. Temannya tambah banyak: pilot-pilot muda, pramugara segar dan petugas teknik bandara yang tampan.

Bukan hanya itu, tahun-tahun kemudian nasib memang sedang unik, perusahaan penerbangan pesat kemajuannya. Selain tiketnya murah, kinerja pegawainya bagus. Maka karir si gadis ikut melesat. Sudah beberapa kali mendapat jadwal ke luar negeri, posisinya kini awak kabin pesawat berbadan lebar, mesin jet-nya empat, penumpangnya banyak.

Kalau dinas bisa seminggu lebih tidak pulang. Dan tubuhnya makin memesona, make up-nya sudah lain. Wajahnya bikin orang pangling, mirip pemain sinetron. Lebih-lebih jika memakai seragam pramugari, kayak dewi angkasa raya. Karenanya banyak yang jatuh cinta, gangguan asmara panjang daftarnya.

Di sisi lain, tokoh kita si pemuda tidak kalah hebat. Setelah pindah bekerja di pabrik tekstil dan garmen, bakat marketingnya menonjol. Dua kali meeting di Perancis, permintaan ekspor deras sekali, produk perusahaannya ternyata bersaing dengan buatan Cina.

Nah, sekali waktu dia harus ke Jepang menawarkan desain baru, bekerjasama dengan pabrik pakaian anak ABG negara matahahari terbit itu. Terbanglah dia ke sana. Kebetulan, sungguh kebetulan, pesawat yang membawanya ternyata diawaki tokoh kita yang satunya, si gadis pramugari.

“Apa kabar Mas, sudah ‘jadi orang’ sekarang, ya?”

“Eeeh, kamu tho? Wah aku pangling. Cantik banget sekarang. “

Entah awan pubertas keberapa lewat-lewat terus. Angkasa menjadi wujud mimpi mereka. Dimulai kembali babak baru, kisah halaman kesekian yang lebih tegang. Tanpa menunda lama-lama, si pemuda sontak menembakkan kata-kata “I Love You”.

Tentu saja bukan di pesawat, melainkan di sebuah tempat rahasia, hanya mereka yang tahu. Konon tempat para samurai dulu merayu geisha, dan para geisha memainkan kecapi. (Bunga-bunga peoni berguguran, pertanda musim meniup romantika.)

Atas nama kejujuran si gadis berterus terang, sudah dilamar seorang kapten pilot. Dan saat berbicara tersendat-sendat menahan mual. Beberapakali keluar masuk toilet.Waduh, waduh, bagaimana ini? Pemuda kita terperanjat hingga menjatuhkan botol sake, padahal baru dua teguk dia telan.

Tidak disangka-sangka, menurut si pemuda, betapa mudah tergoda si gadis yang selama ini dirindukannya. “Gila apa ya, belum nikah hamil duluan!?” Maka, belum habis pembicaraan dia kabur secepat angin taifun dengan perasaan benci-sebal-sesak.

Si gadis serba salah, mau lanjutkan bicara tapi tak mampu menghentikan langkah pemuda yang selama ini sebenarnya dia kagumi. Perutnya benar-benar membuat gara-gara. Seribu sesal memenuhi dadanya, kenapa juga makan terlalu banyak wasabi malam sebelumnya.

Sia-sia menghubungi melalui telepon genggam, nomor pemuda sudah tenggelam dalam kolam koi, dia lempar beserta HP-nya sekalian.

Sepulang dari negeri sakura, si gadis berusaha sekuat tenaga membenahi kesalahpahaman yang terjadi. Dia pergi ke taman pagi-pagi, taman tempat mereka dulu bertemu di akhir minggu. Siapa tahu berjumpa dengan pemuda, tokoh kita.

Maksudnya mau menerangkan, bahwa lamaran kapten pilot bukannya dia terima, dan muntah-muntahnya juga bukan akibat hubungan badan, melainkan hanya gara-gara sambal hijau sialan.

Dia tunggu, dia tunggu…

Benar saja, si pemuda datang dengan langkah gontai. Di sampingnya ada gadis belia, lebih muda dari tokoh gadis kita. Lebih manis, lebih lucu, lebih lugu, mirip boneka mungil buatan Jepang.

Gadis belia yang lebih manis dari si gadis tokoh kita itu terisak-isak sambil menggandeng pemuda. Entah cerita apa tidak terdengar dari kuping gadis pramugari. Pandangan demikian membuat asam lambungnya kumat lagi.

Sepertinya kisah mereka sulit diperbaiki. Bisa jadi si pemuda sudah berpindah ke lain hati… Apa benar? Apa betul?

“Mas, caranya begini aku pulang lagi ke desa saja.”

“Lho, sebentar dulu, jangan putus asa. Mas bantu sebisanya.”

Gadis belia boneka Jepang adalah adik kandung si pemuda, rupa-rupanya sedang putus asa. Berkali-kali tidak dapat kerja, tapi malu minta bantuan kakaknya. Kakaknya malu mau mohon pertolongan gadis pramugari yang dianggap sudah menolaknya. Si pramugari belingsatan nggak karuan, perutnya bergejolak, sedangkan dia mau omong bahwa lamaran kapten pilot sudah ditolaknya.

Di bawah pohon tidak jauh dari kejadian itu, tukang bubur ayam kebingungan, ada tiga porsi pesanan tidak jadi dimakan. Yang memesan mendadak hilang pergi begitu saja. Belum bayar pula.

“Cinta itu seperti kupu-kupu yang terbang tinggi… hinggap di mana saja yang dia ingini… ” Seorang pengamen menyanyikan lagu lawas asal-asalan, mabʋknya belum hilang sejak tadi malam.

Demikianlah cerpen Cinta itu seperti kupu kupu yang terbang tinggi, Karya.Granito semoga Cinta itu seperti kupu kupu yang terbang tinggi dapat menghibur.