Skip to main content

Aku Sudah Tidak Perʌwan Lagi

Beberapa hari ini aku diselimuti gundah gulana. Setiap kali memikirkan momentum besar dalam hidupku yang datang tak lama lagi, aku semakin tenggelam dalam kerisauan. Masalah yang aku mengganjal di pikiranku adalah sebuah rahasia kecil yang sudah bertahun-tahun aku sembunyikan. Tapi entah mengapa aku selalu merasa rahasia kecil itu bisa saja jadi pemicu masalah besar di awal cerita mahligai rumah tanggaku. Rahasia itu adalah….. aku sudah tidak perʌwan lagi!


Mungkin orang lain akan tertawa jika mengetahui aku merisaukan v1rginitasku. Rekan-rekan kantorku bahkan seringkali dengan vʋlgʌr bercerita mengenai petualangan-petualangan ranjang mereka. Padahal mereka melakukannya tanpa ikatan pernikahan. Jika ada yang menimpal iseng, “..jadi kamu sudah tidak ting ting lagi dong?,”yang lain akan menyahut, “..hari gini? Perʌwan?!! Hellow…!!”. Lalu gelegar tawa-tawa nakal pun bergema di sudut-sudut kantor. Aku bisa ikutan tertawa tapi aku tetap tidak bisa menghilangkan kecemasanku. Setiap kali berpikir dan berpikir, aku selalu sampai pada pertanyaan itu. Seperti orang yang lelah menelusuri labirin dan menemukan dirinya menemui lorong buntu yang sama. Apa aku harus memberitahu mas Deddy sejak awal? Atau membiarkan dia mengetahui semuanya saat malam pertama kami nanti?

Mas Deddy adalah calon suamiku, seorang manajer menengah di perusahaan properti. Aku sudah jatuh cinta padanya tiga tahun ini, dan aku ingin terus mencintainya sampai kapanpun. Mas Deddy adalah pria yang gentle, pengertian, aku selalu merasa nyaman di sampingnya. Ketampanannya yang sering membuat sahabat-sahabatku iri kuanggap bonus dari Tuhan untukku. Tapi yang seringkali jadi kerikil-kerikil kecil di atas perjalanan cinta kami adalah mas Deddy tumbuh pada keluarga yang sangat religius dan konservatif. Sementara aku adalah tipe cewek yang cuek dan sangat liberal. Dia tidak pernah mengungkapkannya secara langsung, tapi aku selalu menilai bahwa mas Deddy adalah tipe cowok yang sangat mengagungkan v1rginitas. Penilaianku muncul dari caranya mengayomiku, nasihat-nasihatnya untuk selalu menunjukan citra feminim, dan perlakuan-perlakuan gentle bak satria yang melindungi bidadarinya.

Menambah kecemasanku, sudah dua tiga kali aku bermimpi ibu mas Deddy mengenakan kebaya dan konde lebar mendatangiku dan mendelik kejam kepadaku, seolah-olah sedang memvonis aku. Entah apa arti mimpi itu. Pada awal-awal hubungan kami memang ibu mas Deddy menentang hubungan kami tanpa alasan yang jelas. Tapi kekerasan hatinya perlahan memudar seiring waktu dan melihat  komitmen kami yang tak terpatahkan. Aku selalu membayangkan jangan-jangan saat dia tahu status keperʌwananku, dia akan mendampratku lalu menarik mas Deddy dan berkata “Tuh kan?! Apa  mama bilang? Calon istri kamu itu bukan perempuan baik-baik?!!” Duhhh….!

Lamunanku mendadak buyar saat mas Deddy memanggil namaku. Aku berpaling, dan pangling. Mas Deddy nampak begitu gagah dibalik jas hitam english style.
“Bagaimana Rasti?” sambil mengembangkan kedua tangannya.
Ah mas, kamu mengenakan setelah apapun, kamu itu tetap satriaku.
“Jas-nya pas mas. Kamu gagah sekali. Wah, bakal banyak cewek yang patah hati nih.”
Mas Deddy nyengir manis.

15 menit kemudian kami meninggalkan executive tailor tempat mas Deddy menjahit jasnya dan menuju ke restoran tempat resepsi pernikahan kami nanti. Sore ini kami sudah membuat janji dengan manajer restoran tersebut untuk mengecek menu makan malam yang disediakan. Sepanjang perjalanan mas Deddy terus berceloteh di belakang setir. Pembicaraan kami seputar persiapan-persiapan pesta pernikahan kami 10 hari lagi. Aku menanggapi sekenanya karena aku berusaha membagi konsentrasi antara percakapan kami dengan pergumulan pikiranku. Sebagian pikiranku mendesak aku untuk segera memberitahunya. Walau bagaimanapun juga dia adalah calon suamiku dan dia berhak tahu keadaanku seutuhnya. Tapi separuh pikiranku yang lain melarang aku untuk memberitahunya. Jika dia memang mencintaiku, dia tetap akan menerimaku apapun keadaanku.

“Kamu sakit Rasti?”
Lagi-lagi mas Deddy membuyarkan lamunanku.
“Aku…. aku ingat tugas kantor mas,” sahutku berbohong.
Mas Deddy menatap menyelidik, “Bener nih? Coba rileks sayang. Sudah atur delegasi tugas sama staf-staf kamu kan?”
“Iya sih mas. Cuman masih kepikiran saja,” aku berusaha meyakinkan mas Deddy. Untunglah restoran yang kami tuju sudah nampak di depan sehingga perhatian mas Deddy teralihkan.
Selama hampir 30 menit ini kami melihat dan memilih menu-menu serta konsep resepsi yang ditawarkan pihak restoran dan membandingkannya dengan budget kami. Ibu Mira yang diberi tugas menemani kami memberi penjelasan yang lengkap mengenai menu-menu andalah mereka. Sesekali dia juga ikut memberi rekomendasi. Sejenak aku bisa melupakan kegalauanku.

Tapi rupanya mas Deddy masih bisa menangkap isyarat yang keluar dari pikiranku. Sehingga saat makan malam dia kembali menanyakan apa yang aku pikirkan. Aku pun merasa harus memberitahu yang sebenawrnya.
Aku menyesap jus alpukat untuk menyejukkan tenggorakanku.
“Iya nih mas. Aku mau beritahu sesuatu sama kamu nih, tapi… aku masih bingung.”
Mas Deddy menggenggam tangan kiriku.
“Beritahu apa sayang? Kenapa mesti pakai bingung segala sih?” sahutnya pelan. Suara baritonnya membuatku sedikit tenang.
“Iya. Soalnya aku sayaangg banget sama mas Deddy. Jadi aku takut mas Deddy jadi berubah.”
“Apa sih yang akan membuat aku berubah. Aku tetap sayang kamu.”
“Hmm…. aku punya rahasia kecil yang selama ini aku sembunyikan dari kamu, mas.” Aku menatap matanya lekat-lekat. Mas Deddy mengangguk menunggu aku meneruskan ucapanku.
“Aku… aku sudah tidak perʌwan lagi.”
Aku melihat mimik mas Deddy berubah. Dia berusaha menutupinya tapi aku tahu dia cukup terkejut.
“Kapan kejadiannya?”
“Sudah enam tahun lalu. Saat aku masih semester 4 dan pacar aku semester 6. Kami melakukannya di bawah pengaruh alk0hol. Saat itu kami bersama beberapa teman kampus lainnya melakukan kunjungan di hutan konservasi di wilayaha Puncak. Kami menginap di sebuah villa. Beberapa teman membawa minuman keras, dan aku ikut dalam pesta mereka. Saat itu kami hanyalah segerombolan anak muda yang masih labil.”
Mas Deddy terdiam sejenak.
“Setelah itu…..”
Waduh, ini interogasi khas mas Deddy.
“Tak lama kemudian kami putus. Setelah itu aku menyesal habis-habisan mas.”
“Jadi…. aku akan jadi orang kedua?”
Aku mengangguk pasrah.
Mas Deddy menarik genggamannya dan mengaduk cappucino-nya.
“Tuh kan?? Kamu marah ya mas? Maaf yah baru beritahu kamu hari ini.”
“Nggak kok. Aku senang kamu mau jujur. Aku bakal tetap cinta dan sayang sama kamu Rasti. Walau jujur, aku sedikit kecewa.”
“Sedikitnya gimana mas?”
“Sedikit….,” sahutnya sambil menempelkan jempol dan telunjuknya di depan matanya. Mas Deddy berusaha tersenyum. Aku juga, sambil menetralkan debaran jantungku. Mas Deddy kecewa besar. Aku mengetahuinya.

******************

Kekhawatiranku terbukti. Pagi ini nomor mas Deddy tidak aktif. Padahal biasa dia yang selalu menyapaku pagi-pagi, mengingatkanku untuk segera bangun dan tidak lupa sarapan.
Aku meninggalkan rumah kontrakan tergopoh-gopoh karena bangun kesiangan. Setiba di kantor aku juga langsung tenggelam di dalam berkas-berkas yang harus diperiksa dan di-approve. Di sela-sela kesibukan aku mengintip layar smartphone kalau-kalau ada pesan yang masuk dari mas Deddy. Nihil.
Menjelang makan siang aku pun berinisiatif kembali meneleponnya. Ah, nomornya aktif. Tapi panggilanku tidak kunjung dijawab. Aku meletakkan gadgetku dan termenung. Tapi sebelum pikiranku merambat kemana-mana, gadgetku berbunyi, itu panggilan dari mas Deddy. Aku sigap menjawab teleponnya. Tapi suaranya di seberang sana duluan bergema.
“Rasti, sori ya lagi meeting nih. Bentar aku telepon ya?”
“Oh gitu. Oke mas”
“Yop..!”

Lalu percakapan kami terputus. Ini percakapan tersingkat selama kami menjalin hubungan tiga tahun ini. Sepertinya mas Deddy masih terpukul. Aku kembali tenggelam dalam kerisauan. Telepon dari beberapa teman kampusku yang ikut bergembira mendengar berita pernikahan kami tidak juga menghibur perasaankku.
Menjelang jam 5 sore, mas Deddy menelepon dan mengajak aku makan malam. Aku sedikit terhibur.
Menjelang jam 7 kami berdua terdampar di pojok sebuah restoran italian food. Ini tempat mas Deddy menyatakan cintanya padaku tiga tahun lalu. Tapi anehnya, sepanjang perjalanan mas Deddy tidak begitu banyak bicara. Kalaupun bicara, paling menanyakan hal-hal remeh seperti tiket kedatangan keluargaku atau undangan yang belum tersebar. Terkesan sekedar menjalin percakapan saja.
Sambil menunggu pesanan kami mas Deddy kembali memperlihatkan contoh-contoh desain latar pelaminan yang ditawarkan pihak restoran kemarin. Aku ingin segera menyudahi basa-basi ini dengan menanyakan kembali perasaan mas Deddy.
“Mas Deddy masih marah ya?”
“Marah?”
“Itu… yang kemarin.”

“Ooh… tidak dong sayang. Aku tidak marah atau kecewa lagi,” sahutnya sambil tersenyum. Dia kembali meraih tanganku dalam genggamannya. “Aku sadar aku harus mencintai kelebihan dan kekurangan kamu, sayang. Hubungan kita sudah teruji sampai di tahap ini. Kita sudah melewati masalah-masalah yang jauh lebih berat. Masalah kamu tidak perʌwan lagi tidak akan pernah merubah cinta aku, sayang. “

Duuh, sejuknya jiwa ini mendengar kata-kata mas Deddy.
“Kalau aku sampai marah besar karena kamu tidak perʌwan lagi, berarti aku tidak mencintai kamu. Tapi aku mencintai keperʌwanan kamu,” sambung mas Deddy lagi.
Rasanya aku ingin segera melonjak dan memeluknya erat-erat. Untunglah ada meja bundar yang membatasi kami.
“Puas?” tanyanya.
“Puas 1000% mas,” sahutku manja. “Aku tambah cinta nih sama mas Deddy.”
“Mm… sebenarnya aku juga mau jujur sama kamu nih. Aku juga sebenarnya bukan perjaka lagi sayang. Rasanya dosa berat kalau aku harus mempersalahkan status kamu padahal aku sendiri juga seperti itu.”

“Oh ya?!,” aku terkejut. Tapi yah, aku harus bisa dong menerima keadaan mas Deddy dengan lapang dada. Cintaku juga tidak akan berubah sedikit pun.
“Iya. Maaf ya sayang. Kamu juga akan menjadi orang kedua. Tapi sekarang kita fair kan?” tanyanya.
Aku menggenggam tangannya lebih erat. “Iya deh mas. Apapun yang terjadi aku tetap cinta kamu mas.”

Ah rasanya dada ini lega sekali. Setelah sekian lama selalu disesaki oleh beban yang timbul dari pikiranku. Percakapan kami selanjutnya pun berjalan lebih lancar. Aku juga bisa tertawa dengan lepas. Mas Deddy tidak salah memilih waktu untuk menuntaskan satu lagi masalah kecil sebelum hari penting kami. Dia juga tidak salah pilih tempat. Lasagnapanggang yang dihidangkan rasanya lezat sekali. Kami berdua makan dengan lahap seperti orang yang seminggu tidak makan.
Tapi aku masih penasaran dengan satu hal.
“Mas, boleh tahu siapa orang yang pertama mas?”
Mas Deddy menenggak es jeruk untuk membantu mengosongkan rongga mulutnya. Aku sedikit geli melihat upayanya mengenyahkan gumpalan lasagna dari situ.
“Yang pertama?”
“Itu… yang pertama ngambil perjaka kamu.”
Mas Deddy sedikit terkejut.
“Waduh, namanya itu… Susi apa Santi gitu. Lupa aku..!”
Aku ikutan terkejut.
“Kok, lupa namanya mas? Kapan sih kejadiannya?”
Mas Deddy melirik penuh makna padaku.
“Mm… kejadiannya kemarin malam. Habis ngantar kamu pulang. Cewek itu tarifnya 300 ribu per jam.”
Aku mendelik.
“Mas Deddy!! Beneran mas?!”
Mas Deddy mengangguk.
“Aku pakai pengaman kok, tenang aja.”
Pikiranku langsung menggeliat, mau lari kemana-mana.  Kenapa rasanya aku yang sekarang kecewa berat.

************************************

By: Pical Gadi