Skip to main content

Cerpen Islami, Mentari Di Balik Jilbab

Aku adalah seorang cewek yang hidup di suatu daerah ang masyarakatnya masih sangat kolot pemikirannya, dan masih sedikit sekali akan pengetahuan agama Islam. Aku tahu kalao berjilbab wajib hukumnya bagi umat islam, tapi aku tak tahu bagaimana cara melakukan kewajiban itu, sedangkan keluarga dan biaya untuk membeli pakaian muslimah sangat tidak mendukung. Meski begitu aku selalu berharap suatu hari nanti Allah pasti memberi jalan kepadaku untuk melaksanakan kewajiban itu


“Setiap saat aku menjalankan sholat, aku harus selalu mengenakan pakaian jilbab.” Bisiku dalam hati kecil, tapi segera aku sadar hatiku langsung berdetak “deg” dan wajahku mulai memerah, matakupun berkaca-kaca. Aku mulai teringat akan keadaanku yang tidak mungkin untuk membeli pakaian jilbab.
Orang tuaku bukanlah orang kaya, tetapi juga bukan orang yang melarat. Dan sebenarnya mereka mampu untuk membeli pakaian jilbab itu.

Aku memaklumi hal itu karena orang tuaku bukanlah golongan orag santri yang mengerti tentang masalah agama, dapat digolongkan islamnya itu hanya islam KTP, sehingga kepentingan berjilbab seringkali mereka anggap sutu hal yang neko-neko.

Tapi aku selalu mencoba untuk bersabar, aku juga sering kali menceritakan keinginanku itu pada teman-temanku yang sudah berjilbab, tapi tidak juga mendapatkan jalan keluar. Aku anggap ini adalah cobaan bagiku dan aku harus bersabar. 3 Bulan telah berlalu, Temanku Neza mengatakan kepadaku kalau sekarang ada gerakan 1000 jilbab. Jadi anak-anak yang belum berjilbab akan mendapat bantuan dari anak remas. “Alhamdulillah” Ucapku dalam hati.

Lega rasa hatiku mendengar perkataan temanku Neza. Aku tidak begitu merasa malu mengingat jilbab merupakan kebutuhan, meskipun aku harus mendapatkanya dengan orang lain. Setelah aku menerima pakaian jilbab dari pihak remas, aku merasa sangat bahagia dan aku kira tak ada lagi cobaan yang berarti karna aku tinggal memakainya tanpa dipungut biaya sepeserpun. Tapi kenyataanya tak seindah yang kubayangkan. Ternyata mengenakan jilbab lebih berat cobaanya daripada mendapatkannya.

Cobaan yang datang dari berbagai pihak. Dari orang tua, kakak, adik, mereka selalu mencomoohku dengan berbagai kata-kata yang kasar dan kotor. Yang nggak pantas lah, dan berbagai macam penghinaan yang lain harus kuterima setiap waktu. Ayahku juga sering mengatakan kalau aku bersikeras memakai jilbab, beliau tidak akan menyekolahkan dan tidak mengurusku lagi. Sementara ibuku yang paling kucintai ternyata berpendapat sama dengan ayahku.

“Dengarkan,, Kamu tidak akan mati meskipun kamu tidak pakai jilbab” bentak ibuku
“tapi bu....!!!”
“tidak tapi-tapian, lagipula kalo belum tahu dalilnya tidak usah berpakaian seperti itu. Tidak ada gunanya....!!! Sela kakakku yang juga sependapat dengan mereka.

Aku kecewa sekali mendengar perkataan mereka, aku hanya bisa menjawab dengan tangisan-tangisan yang tidak berarti bagi mereka. Seakan-akan aku tak punya siapa-siapa lagi didunia ini. Air mataku seakan tak pernah berhenti mengalir. Hanya saat sekolah dan mengaji lah hatiku bisa merasa tenang dan bahagia. Dan hanya satu anak lelaki yang mendukungku untuk memakai jilbab, namun dia berada jauh dariku. Dengan keadaan yang seperti itu aku tidak tahan lagi menghadapinya.
“sabar...sabar...mungkin itu memang cobaan yang harus kamu hadapi” Hibur Neza “iya... kamu harus kuat... kamu harus bersabar... karena membawa kebenaran ditengah kedzaliman itu amatlah mulia” Sela salah seorang teman yang selalu setia menemaniku.

“Walau sekejam-kejamnya orang tua pasti juga tidak akan membunuh anaknya sendiri” tambah Neza
Semua perkataan itu menbuatku tenang dan tentram apabila aku berada di rumah.
“apakah orang tuaku termasuk orang yang zalim ?” pikirku dalam hati yang selalu bertana-tanya.
Hari demi hari kulalui dengan bersabar meskipun ucapan-ucapan dan kurang baik dari keluargaku itu selalu membuat nafsu amarahku bangkit.

Namun demikian aku selalu mencoba untuk menghibur diriku sendiri dalam menghadapi semua masalah yang ada. Satu bulan aku telah berjilbab, aku merasa lega dan bangga pada diriku sendiri karena sejak saat itu aku mulai mengerti bahwa begitu bervariasinya hidup di dunia ini, penuh dengan tangis, canda, tawa, dan semuanya. Benar kata seorang pujangga yang menyatakan bahwa “dunia ini terasa seperti panggung sandiwara yang ceritanya mudah sekali untuk berubah”